LDII TANJUNGPINANG-Untuk melahirkan budaya unggul, terlebih dahulu manusia harus bisa
menjawab tantangan yang ada dalam dirinya sendiri. Manusia unggul tidak lahir
dari situasi statis, melainkan dari proses dinamis yang penuh tantangan untuk
dipecahkannya. Tidak saja dalam
pengertian bagaimana upaya menemukan talenta (bakat) terbaik dalam diri
seseorang, melainkan upaya yang terus-menerus untuk menjadi manusia yang lebih
(over atau surplus). Banyak pakar yang mencoba mendefinisikan; manusia unggul
adalah manusia yang bisa menggunakan
kehendak dan kuasanya untuk mengatasi rasa lemahnya. Dari dimensi agama
yang mendefenisikan; manusia unggul adalah mereka yang memenuhi cirri-ciri
individu islam yang sebenarnya menurut kehendak Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam
seluruh aspek kehidupan. Dalam uraian alenia sebelumnya juga didefenisikan
bahwa manusia unggul adalah manusia yang tidak saja dalam pengertian bagaimana
upaya menemukan talenta terbaik dalam diri seseorang, melainkan upaya untuk
terus menerus menjadi manusia yang lebih (over atau surplus).
Oleh karena itu melahirkan manusia unggul jangan disalahpahami hanya
dengan pengertian lulus dengan prestasi cumlaude, meloloskan siswa-siswa
berprestasi yang mampu merengkuh juara olimpiade fisika, matematika, atau
kimia, akan tetapi menjadi manusia unggul bisa dimiliki oleh siapa saja yang
mampu menemukan dan mengelola kekuatan diri menuju keunggulan yang lebih
(surplus), yaitu dengan menemukan dan menajamkan potensi kekuatan/keunggulannya
sehingga dengan kelebihan itu bisa menghasilkan sesuatu yang lebih (surplus)
daripada orang lain umumnya.
Betapa banyak orang yang cukup memiliki potensi untuk mendapatkan
kemuliaan, tetapi ternyata tidak bisa menjadi manusia unggul. Factor
penyebabnya tiada lain karena belum tersampaikan ilmunya sehingga orang
tersebut tidak mengetahui tahap-tahap apa yang perlu dilakukannya.
Steven R. Covey, Penulis buku Tujuh Kebiasaan Manusia Yang Sangat
Efektif, punya pengalaman ini. Ia mempunyai harapan sosial yang terlalu muluk
untuk salah satu anaknya yang ternyata berkemampuan fisik dan mental dibawah
rata-rata. Tapi ia gagal ketika memaksakan keinginannya itu pada anaknya.
Yang ia lakukan kemudian adalah mengubah
visinya tentang anaknya tumbuh sesuai dengan alur kemampuannya. Ternyata itulah
jalan yang membuat anaknya mencapai prestasi besar. Dari pengalaman ini,
janganlah men-setting diri sekedar sesuai dengan keinginan semata, apalagi
menuruti keinginan orang lain, tapi setting-lah diri sesuai dengan
kemampuan/kelebihan kita (kekuatan diri)
Ungkap Hamzah Farid, S.Pd. AUD. dalam sambutannya pada hari penutupan
Khataman Hadist Sunan Ibnu Majah 3 yang di gelar DPD LDII Kota Tanjungpinang 28
Februari 2014 di masjid Hidayatullah Tanjungpinang. hf
FOTHO
BERSAMA DENGAN PARA PENGURUS
DEWAN
GURU DAN DEWAN PENASEHAT DPD LDII KOTA TANJUNGPINANG KEPRI
PHOTO BERSAMA DEWAN PENASEHAT DPD LDII KOTA TANJUNGPINANG
No comments:
Post a Comment